1. Startup

Pemerintah Targetkan Kebijakan Pajak E-Commerce Rampung Tahun Ini

Begitu peliknya perumusan kebijakan pajak bisnis online, Kementerian Kordinator Perekonomian mengambil alih kendali

Pemerintah terus mengkaji kebijakan pajak yang akan diterapkan bagi industri e-commerce dan pemain di bidang Over The Top (OTT). Peraturan yang akan diterbitkan dalam sebuah Peraturan Pemerintah (PP) tersebut ditargetkan rampung di tahun ini. Tak bisa disama ratakan dengan pemungutan pajak bagi UKM atau industri pada umumnya, karena pemain di dunia maya memang memiliki berbagai pendekatan yang berbeda.

Khusus bagi e-commerce, saat ini banyak pihak mengajukan keringanan pajak, karena sektor ini dianggap masih dalam fase infant. Menkominfo Rudiantara juga telah menekankan, bahwa pihaknya akan berupaya menangguhkan pajak bagi e-commerce, dalam artian kebijakan pajak tersebut tidak diterapkan tahun ini. Bisa saja kebijakan tersebut dibuat, namun implementasinya bisa ditunda, disesuaikan dengan kesiapan pelaku di lapangan.

Selama ini pengenaan pajak bisnis online mengacu pada Surat Edaran Pajak Nomor SE- 62/PJ/2013 tentang penegasan ketentuan perpajakan atas industri e-Commerce. Edaran ini menyebutkan empat model layanan e-commerce yang dikenakan pajak pertambahan nilai (PPn) 10 persen, yaitu marketplace, classified ads, daily deals, dan peritel online. Yang terbaru Ditjen Pajak mengeluarkan SE-06/PJ/2015 tentang pemotongan dan/atau pemungutan pajak penghasilan atas transaksi e-commerce.

Regulator mengalami kesulitan merumuskan pajak e-commerce

Begitu rumitnya penerapan kebijakan tersebut, Kementerian Kordinator Perekonomian dikabarkan saat ini yang memegang kendali akan kebijakan terkait pajak bisnis online yang sedang dalam proses perumusan. Hal ini dipaparkan Iwan Djuniardi, Direktur Teknologi dan Informasi Perpajakan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) beberapa waktu lalu. Kemenkeu, Kominfo, dan instansi terkait tetap akan terlibat di bawah komando Kemenko Perekonomian.

Semangat pemangku kebijakan untuk mengurus pajak pemain di industri online bukan tanpa alasan. Asosiasi e-Commerce Indonesia (idEA) memperkirakan, dengan potensi pasar sekitar Rp 150 triliun per tahun industri online ini akan menjadi penyumbang pajak terbesar dalam beberapa tahun mendatang.

Terkait surat edaran Dirjen Pajak yang ada saat ini, idEA memberikan beberapa masukan kepada pemerintah. Di antaranya soal penerbitan faktur pajak harus disamakan dengan pengecer. Menurutnya, harus ada pengecualian terhadap pajak peritel online yang baru berdiri di bawah 5 tahun dan masih merugi. idEA juga ingin agar startup yang bisnisnya baru berjalan di bawah lima tahun agar dibebaskan pajak penghasilannya (PPh).

Industri online di Indonesia memang sedang begitu bertumbuh. Banyak startup bermunculan dan menggarap potensi di ranah online di Indonesia yang begitu subur. Namun jika menilik dari sudut pandang yang berbeda, tak sedikit dari pelaku industri tersebut masih 'bau kencur', masih terlalu dini dan baru bertanggar di persaingan bisnis. Lalu apakah lantas pemerintah begitu saja menjadikan keadaan ini menjadi sebuah momentum untuk meraup target pendapatan dari pajak.

Harus ditemukan jalan tengah, untuk memastikan disiplin pajak tetap berjalan namun industri yang masih terus bertumbuh tersebut tidak tersandung dengan kebijakan yang ada, terutama bagi industri lokal. Toh pada akhirnya pajak juga digunakan untuk membangun dan mensejahterakan bangsa. Lalu salahkah jika kemandirian masyarakat tersebut mendapatkan kelonggaran atas kewajiban beban pajak yang terus akan ditingkatkan.

Are you sure to continue this transaction?
Yes
No
processing your transaction....
Transaction Failed
Try Again

Sign up for our
newsletter

Subscribe Newsletter
Are you sure to continue this transaction?
Yes
No
processing your transaction....
Transaction Failed
Try Again