1. Startup

Perusahaan Internet Indonesia Go Public Tahun 2015: Baca Dan Tanggung Sendiri Resikonya (Bag. 2)

Editor: Ini merupakan artikel lanjutan dari artikel sebelumnya oleh Andi S Boediman yang mencoba menganalisa industri internet Indonesia saat ini dengan menjabarkan gambaran makro dari industri yang sedang berkembang, membahas mengenai industri e-commerce, media, pembayaran dan diaspora. Artikel ini pertama kali dimuat di blog pribadi Andi S Boediman, diambil, diterjemahkan dan dimuat kembali di Dailysocial sesuai ijin dari yang bersangkutan.

E-Commerce masih menjadi anak kesayangan

Fashion, gadget dan produk elektronik, lalu kesehatan dan kecantikan adalah 3 kategori terbesar di e-commerce hari ini. Traksi penjualan untuk situs e-commerce fashion seperti Zalora dan Berrybenka menunjukkan pertumbuhan signifikan tahun 2012. Pada dasarnya mereka merintis jalan untuk menjadi raksasa offline retail seperti Matahari. Lalu situs seperti Lazada dan Blibli telah bekerja keras untuk mendapatkan deal eksklusif menjual gadget dan produk-produk elektronik yang populer di kalangan konsumen. Mereka menunjukkan tingkat komitmen yang tinggi untuk berinvestasi di sisi marketing untuk bisa menawarkan deal terbaik bagi konsumen. Sebagai marketplace paling populer saat ini, mayoritas transaksi di Tokopedia merupakan produk kecantikan. Mereka mampu memfasilitasi transaksi lebih dari Rp 800 juta per bulan dari kategori kecantikan & produk kesehatan.

Salah satu hal yang menarik bagi media adalah apa saja yang akan menjadi penentu tren e-commerce di tahun 2014. Jawabannya sederhana: pemilik merek (brand) masuk ke ranah online! Saat ini, semua brand melihat e-commerce sebagai  kanal penjualan yang paling penting bagi usahanya. Tiap brand ingin memiliki toko online, baik hanya berupa katalog online atau juga fasilitasi transaksi secara online. Hal ini akan menumbuhkan layanan seputar e-commerce untuk brand-brand ini.

Tantangan terbesar bagi perusahaan e-commerce di Indonesia adalah distribusi. Untuk mencapai titik ekonomis (economic of scale), perusahaan di vertikal FMCG (Fast Moving Consumer Goods) memisahkan dirinya sendiri dengan distribusi dan retail. Belajar dari AS, Walmart sukses menjadi retailer terbesar dengan menjadi pemimpin terdepan dari proses supply-chain. Dengan menantang proses manajemen supply-chain ini, Amazon mampu bersaing dengan Walmart. Mengintegrasikan supply-chain, distribusi dan e-commerce membuat Amazon menjadi pengecer (retailer) online terbesar di muka bumi hari ini.

Sejauh ini tidak ada perusahaan di Indonesia yang mampu menyediakan efisiensi supply-chain dan distribusi semacam ini. Perusahaan seperti JNE, First Logistics dan RPX adalah beberapa pemain yang menawarkan solusi untuk pengiriman dan logistik, namun tidak ada layanan manajemen supply-chain.

Pemimpin sebenarnya akan muncul sebagai sebuah perusahaan yang mengintegrasikan supply-chain sebagai salah layanan untuk pemain e-commerce.

Solusi Pembayaran Digital: Siapakah Pemenangnya?

Meskipun jumlah total kartu kredit di Indonesia mencapai angka 20 juta, pada kenyataannya tiap pengguna memiliki dua hingga 3 kartu kredit dan mereka menggunakan kartu kredit sebagai kartu diskon. Jadi, kartu kredit tidak akan mencapai titik pengguna masif untuk menjadi solusi mainstream untuk pembayaran digital.

Di industri e-commerce, mayoritas transaksi masih dilakukan via transfer bank. Jadi, memiliki akun BCA dan Mandiri bisa dibilang merupakan bagian penting sebagai merchant karena kedua bank ini mewakili 80% dari konsumen di Indonesia. Kedua bank tersebut telah meluncurkan pembayaran via token untuk e-commerce.

Indonesia sangatlah unik, lebih dari 95% pengguna mobile kita merupakan pelanggan prabayar. Permainan multiplayer di PC seperti Point Blank, Ragnarok dll, juga kebetulan memiliki sistem prabayar. Pada dasarnya, kebiasaan pelanggan sudah ada. Satu pemain yang signifikan adalah Indomog yang fokus ke distribusi voucher game dan e-wallet.

Tahun 2013 ini, Mandiri meluncurkan platform e-cash yang mirip seperti Rekening Ponsel-nya CIMB Niaga. Mandiri e-cash memiliki dalil nilai yang kuat untuk industri e-commerce karena metode pembayaran ini memungkinkan kita untuk mentransfer dana ke siapapun yang memiliki telepon seluler, bahkan jika mereka tidak memiliki akun di bank. Keuntungan sebenarnya adalah sang penjual mampu menarik dana tunai melalui ATM Bank Mandiri manapun.

Perusahaan telekomunikasi seluler juga memiliki solusi pembayaran masing-masing, Telkomsel dengan T-cash, Indosat Dompetku, XL Tunai, namun solusi dari telko ini masih harus bekerjasama dengan Bank untuk pengambilan dana. Saya percaya bahwa model yang dianut para telko ini lebih cocok untuk konten digital ketimbang e-commerce.

Saya percaya bahwa dompet digital dari bank memiliki kesempatan yang lebih besar untuk sukses, meskipun belum terbukti.

Invasi oriental dan budaya barat datang dengan niat baik

Selama dua hari di acara Startup Asia, Ideosource, VC yang saya dirikan bersama Edward Chamdani menjadi bagian dari program Startup Dating dimana startup bisa bertemu dengan investor. Dalam satu jam, sebuah VC bisa bertemu 12 startup yang akan menjelaskan mengenai bisnis mereka. Jika ada ketertarikan lebih lanjut, VC dan startup bisa bertemu di lain waktu untuk melanjutkan. Ini merupakan proses yang menguntungkan bagi banyak pihak, investor bisa melihat ide dan bisnis model perusahaan, serta bertemu dengan para founder yang bisa menghemat waktu. Para startup juga bisa bertemu dengan berbagai macam investor tanpa harus mengalami kesulitan mengejar jadwal untuk bertemu. Kini, mencari rekanan yang tepat menjadi makin mudah.

Satu hal yang menarik adalah saya melihat begitu banyak VC asal Jepang yang mengambil bagian dari Startup Dating ini. Seperti model investasi VC Jepang adalah dengan memberikan dana kecil sebelum bertaruh dan memberikan komitmen yang lebih besar. Selain investor Jepang, satu-satu investor asal AS yang hadir adalah 500startups yang dipimpin oleh Dave McClure yang beberapa bulan lalu juga menyambangi Indonesia.

Hal ini berbeda dengan model Korea yang lebih bersifat investasi strategis. SK Telecom melakukan joint venture dengan Telkom untuk membangun Melon, layanan musik digital. Dalam tiga tahun, perusahaan ini menghasilkan omset sebesar US$ 7 juta. SK Planet juga melakukan joint venture dengan XL Axiata untuk membangun marketplace e-commerce dengan investasi sebesar US$ 40 juta. Perusahaan asal Cina juga lebih memilih melakukan investasi strategis seperti joint venture antara Tencent dan MNC untuk aplikasi WeChat.

Salah satu investor yang bermain paling awal di Indonesia adalah Tiger Global, investor dari Detik dan Dinomarket. Naspers, investor di belakang Tokobagus dan Multiply juga mempertaruhkan banyak uang di sektor e-commerce di Indonesia. Tahun lalu, Tokobagus menghabiskan lebih dari US$ 4 juta untuk iklan TV dan pemasaran digital.

Banyak perusahaan-perusahaan besar di Indonesia belum berani untuk bertaruh di perusahaan digital. Sebagai orang Indonesia, hal ini sangat mengecewakan ketika orang-orang dari luar Indonesia justru lebih percaya kepada industri digital lokal ketimbang perusahaan lokal. Namun, dengan mengadopsi model VC, sisi positifnya adalah perusahaan-perusahaan ini masih dimiliki oleh founder asal Indonesia.

Indonesia harus bisa menjadi pemimpin dan pemain kunci, bukan hanya penonton. Semua investasi dari para pemain global di Indonesia harus dilihat sebagai kesempatan bagus untuk enterpreneur Indonesia menjadi pemain global.

Viva Diaspora

Tahun lalu saya berkesempatan untuk mengunjungi Silicon Valley. Saya mengunjungi kampus Google, Univesitas Stanford yang melahirkan begitu banyak perusahaan teknologi seperti Sun, Yahoo dan Google. Yang saya nikmati dari kunjungan tersebut adalah pertemuan dengan teman-teman asal Indonesia yang bekerja di Yahoo, Flipboard, Google dan banyak perusahaan internet lainnya.

Jika anda melihat sejarah Silicon Valley, banyak entrepeneur sukses berasal dari Paypal, Microsoft, Apple, Google dan Facebook. Kenapa? Karena orang-orang ini menghadapi masalah dan telah belajar bagaimana membangun solusi yang memiliki skalabilitas tinggi.

Saya melihat tren yang sama di Indonesia, orang-orang dari Detik, Plasa, Multiply, Koprol, Zalora adalah orang-orang dengan pengalaman bekerja di perusahaan internet yang selanjutnya akan mengembangkan bisnisnya sendiri. Hal ini bisa terjadi karena mereka terbukti memiliki pengalaman.

Arus besar diaspora, dimana semua orang Indonesia yang telah sukses bekerja atau belajar di luar, saat ini berbondong-bondong pulang kembali ke Indonesia untuk membangun lanskap bisnis internet di Indonesia. Contohnya seperti Kaskus dan Disdus.

Saya percaya bahwa kombinasi dari diaspora Indonesia dan investasi dari luar negeri akan mampu membawa pemain internet Indonesia menjadi pemain global.

Menjadi perusahaan publik seharga US$ 100 juta di Indonesia: Media, e-commerce atau pembayaran?

Ketika CT Corp mengakuisisi Detik di tahun 2011, Detik dihargai sekitar US$ 60 juta dengan pemasukan sebesar US$ 15 juta tiap tahunnya. Valuasi tersebut berdasarkan 4x dari omset perusahaan. Kaskus digosipkan memiliki valuasi sebesar US$ 30 juta ketika mendapatkan investasi dari Grup Djarum, dengan revenue sebesar US$ 2 juta dan bilangan pengali 15x. Hal ini mungkin berdasarkan nilai pengguna Kaskus yang lebih setia ketimbang pengunjung website media.

Apa yang akan terjadi di tahun 2015?

Akan ada paling tidak satu perusahaan internet dengan valuasi US$ 100 juta yang menjadi perusahaan terbuka (IPO/Go public).

Media, yang memiliki margin lebih tinggi, secara alami bisa menjadi yang pertama mencapai valuasi tersebut. Jika kita menggunakan pengali 8-12x, perusahaan media membutuhkan revenue sekitar US$ 8 -12.5 juta tiap tahunnya untuk mencapai valuasi tersebut. Detik, Kompas, KapanLagi, Kaskus dan Vivanews masuk ke dalam lingkup tersebut. Jika kita menggunakan pengali EBITDA dan bukan revenue, rata-rata perusahaan di Indonesia dihargai 14x EBITDA. Untuk mencapai valuasi US$ 100 juta, perusahaan tersebut harus memiliki revenue sebesar US$ 20 juta dan keuntungan sebesar US$7 juta, masih sangat memungkinkan untuk dicapai.

E-commerce retail yang memiliki margin lebih tinggi bisa juga menjadi penantang serius untuk go public di kategori industri yang lebih matang dan membutuhkan investasi yang lebih tinggi untuk membangun struktur supply-chain. Perusahaan pembayaran digital yang memiliki margin lebih tinggi juga bisa menjadi kandidat kuat untuk go public. Baik e-commerce maupun digital payment yang fokus ke konten bisa mencapai angka margin 25% dan keuntungan sebesar 15%. Dengan pengali EBITDA yang sama, untuk mencapai valuasi US$ 100 juta, tiap perusahaan harus memiliki volume transaksi sebesar US$ 47 juta.

Jika percaya dengan bisnis internet, pengali 14x bisa menanjak hingga 20-30x, lalu perusahaan yang lebih kecil dimampukan untuk go public lebih cepat dan perusahaan yang lebih matang bisa dihargai lebih tinggi. Dengan kata lain, resep kemenangan untuk perusahaan internet.

Saya memiliki harapan tinggi untuk lanskap internet di Indonesia, jadi mari kita lihat siapa perusahaan internet lokal yang akan go public pada tahun 2015.

Andi S Boediman adalah seorang entrepreneur kreatif. Pendiri dari Ideosource, pemodal venture untuk bisnis digital di Indonesia, dan juga pendiri IDS (International Design School). Sebelumnya Andi juga memegang posisi Chief Innovation Office untuk Plasa.com, anak perusahaan PT Telkom Indonesia yang bergerak di bidang e-commerce dan konten.

photo:shutterstock

Are you sure to continue this transaction?
Yes
No
processing your transaction....
Transaction Failed
Try Again

Sign up for our
newsletter

Subscribe Newsletter
Are you sure to continue this transaction?
Yes
No
processing your transaction....
Transaction Failed
Try Again