Dark
Light

Haruskah Organisasi Esports Peduli Pada Masa Depan Pro Playernya?

9 mins read
March 13, 2021
Perlukah manajemen tim esports mengayomi para pemainnya.

Esports sudah menjadi industri besar. Orang-orang di dalamnya pun dituntut untuk bekerja layaknya seorang profesional, termasuk para pro gamer. Dan jangan salah, gaji para pemain profesional yang bermain di liga besar sudah melampaui Upah Minimum Regional DKI Jakarta. Misalnya, gaji minimum pemain Mobile Legends Professional League adalah Rp7,5 juta. Para pemain esports yang berlaga di kancah internasional bahkan punya gaji yang jauh lebih fantastis. Di Eropa, gaji rata-rata pemain League of Legends profesional mencapai miliaran rupiah.

Namun, gaji bukan satu-satunya variabel yang harus diperhitungkan ketika seseorang hendak memilih pekerjaan. Ada beberapa faktor lain yang menjadi bahan pertimbangan, seperti asuransi atau dana pensiun. Inilah alasan mengapa bagi sebagian orang, Pegawai Negeri Sipil (PNS) masih merupakan pekerjaan idaman. Sementara bagi perempuan, peraturan terkait cuti hamil dan melahirkan bisa jadi salah satu faktor yang harus diperhitungkan.

Lalu, apakah organisasi esports menawarkan keuntungan lain bagi para pemainnya?

 

Keuntungan yang Bisa Ditawarkan Organisasi Esports: Jaminan Kesehatan dan Edukasi Finansial

Menjadi pemain esports tidak semudah kelihatannya. Ada beberapa pengorbanan yang harus dibuat untuk menjadi pemain profesional. Salah satunya adalah kesehatan. Ketika menjadi pemain profesional, seseorang bisa menghabiskan waktu berjam-jam setiap hari untuk berlatih.

Kepada TMZ Sports, Kenny “Kenny” Williams dari Los Angeles Thieves dan Dillon “Attach” Price dari Minnesota ROKKR mengungkap jadwal latihan mereka. Attach berkata, dia dan timnya bisa menghabiskan waktu sekitar 5-6 jam sehari untuk berlatih. Dalam seminggu, mereka berlatih selama 6-7 hari. Menjelang turnamen, mereka bisa berlatih tanpa hari libur. Sementara itu, Kenny menyebutkan, ia dan timnya menghabiskan waktu sekitar 35-40 jam seminggu untuk berlatih. Jika mereka berlatih selama 6 hari, maka setiap harinya, mereka menghabiskan sekitar 6-7 jam.

“Kami punya jadwal latihan tetap. Kami bermain sejak jam 1 siang sampai sekitar jam 7 malam,” kata Kenny. “Namun, menjelang turnamen, kami biasanya akan berlatih lebih lama.” Ketika seseorang menghabiskan terlalu banyak waktu dalam posisi duduk, hal ini dapat menimbulkan berbagai masalah kesehatan, mulai dari naiknya risiko obesitas sampai pelemahan otot. Tak hanya itu, seorang pemain profesional juga bisa terkena cedera, mulai dari cedera pada pergelangan tangan, punggung, atau leher.

Selain waspada akan cedera, seorang pemain profesional juga harus memerhatikan asupan gizinya. Pasalnya, gizi dan nutrisi juga memengaruhi performa pemain. Jadi, salah satu benefit yang bisa ditawarkan oleh organisasi esports pada para pemainnya adalah jaminan akan gizi yang memadai. Untuk itu, sebagian organisasi esports bahkan rela mempekerjakan ahli gizi untuk memastikan bahwa para atlet mereka mendapatkan asupan gizi yang memadai. Sayangnya, tidak semua organisasi esports mau — atau mampu — melakukan hal ini.

Gizi dan nutrisi bisa memengaruhi performa para pemain esports. | Sumber: Deposit Photos
Gizi dan nutrisi bisa memengaruhi performa para pemain esports. | Sumber: Deposit Photos

Pemain profesional tak hanya harus peduli pada kesehatan fisik, tapi juga kesehatan mental. Jika diacuhkan, gangguan mental bahkan bisa menyebabkan seorang atlet esports mengundurkan diri. Hal ini terjadi pada Heo “PawN” Won-seok, pemain League of Legends asal Korea Selatan yang sempat diklaim sebagai rival abadi dari Lee Sang-hyeok alias Faker. PawN mengundurkan diri karena mengidap Obsessive Compulsive Disorder (OCD).

Selain itu, bertanding dalam turnamen bergengsi di hadapan banyak penonton memberikan tekanan mental untuk para atlet esports. Beban mental yang ditanggung oleh pemain profesional elit bahkan disebutkan sama seperti beban mental para atlet Olimpiade. Dan keadaan psikologis seorang pemain punya pengaruh padaa performanya. Itulah sebabnya mengapa beberapa organisasi esports mempekerjakan psikolog. Sayangnya, lagi-lagi, tidak semua organisasi esports bisa atau bersedia mempekerjakan psikolog.

Tak melulu soal kesehatan, edukasi soal literasi finansial bisa jadi salah satu benefit yang ditawarkan oleh organisasi esports pada para pemainnya agar mereka setia. Dan literasi keuangan itu memang penting untuk para pemain profesional. Hanya saja, walau sudah ada organisasi esports yang bersedia mengedukasi para pemainnya soal tabungan dan investasi, praktek ini belum menjadi standar di industri esports. Alhasil, jika pemain tidak mawas diri, uang yang mereka kumpulkan selama mereka berkarir sebagai pemain profesional bisa hilang tanpa bekas.

Jika kesehatan atlet esports penting, kenapa tidak semua organisasi esports mau mempekerjakan ahli gizi atau psikolog? Dan jika literasi finansial penting untuk masa depan para atlet esports, kenapa hanya sebagian organisasi esports yang mau mengedukasi para pemainnya tentang literasi finansial?

Esports adalah industri baru. Memang, nilai industri esports diperkirakan akan mencapai US$1 miliar. Meskipun begitu, organisasi esports belum menemukan model bisnis yang pasti. Karena itu, tentunya mereka juga akan berusaha untuk menekan pengeluaran. Jadi, tidak heran jika sebagian organisasi esports enggan untuk mempekerjakan ahli gizi atau psikolog. Dalam kasus ini, tanggung jawab untuk menjaga kesehatan para atlet akan jatuh ke tangan mereka sendiri.

Psikolog juga punya peran penting dalam tim esports. | Sumber: Esports.id
Psikolog juga punya peran penting dalam tim esports. | Sumber: Esports.id

Soal literasi finansial, alasan yang sama juga berlaku. Tidak semua organisasi esports punya biaya — atau mau mengeluarkan biaya — untuk membayar ahli finansial demi mengedukasi para atletnya tentang perencanaan finansial jangka panjang. Apalagi karena literasi finansial tidak memberikan dampak langsung pada performa pemain.

Memang, dalam dunia kerja, pekerja yang setia tidak hanya lebih produktif, tapi juga memberikan pelayanan yang lebih baik. Hal ini akan berujung pada kepuasan konsumen, dan berakhir pada meningkatnya pendapatan perusahaan. Jadi, perusahaan memang punya kepentingan untuk membuat para karyawannya puas dengan kondisi kerja mereka. Dan salah satu cara untuk membuat karyawan menjadi betah bekerja di sebuah perusahaan adalah dengan memberikan benefit ekstra — termasuk kesempatan untuk belajar hal baru. Sayangnya, kondisi di dunia esports — khususnya terkait pemain profesional — agak berbeda. Pasalnya, karir pemain profesional sangat singkat.

Menurut Esports Lane, rata-rata, karir seorang pemain esports hanya bertahan selama sekitar 4-5 tahun. Hal itu berarti, sebuah organisasi esports tidak punya urgensi untuk mempertahankan atlet esports dalam waktu lama, berbeda dengan perusahaan konvensional yang bisa mempekerjakan seseorang hingga belasan atau bahkan puluhan tahun. Karena itu, tidak aneh jika organisasi esports tak terlalu memusingkan soal benefit yang bisa mereka berikan pada para pemainnya.

 

Durasi Liga Esports dan Kontrak yang Singkat

Esports memang sering dibandingkan dengan olahraga tradisional. Competitive gaming bahkan kini mulai dianggap sebagai olahraga dan dimasukkan ke dalam berbagai event olahraga besar, seperti Asia Games dan SEA Games. Meskipun begitu, esports tetap punya beberapa perbedaan dengan olahraga tradisional. Salah satunya adalah game, yang menjadi media pertandingan dalam esports, merupakan produk komersil. Hal itu berarti, popularitas skena esports dari sebuah game bisa memberikan dampak langsung pada pemasukan publisher. Sebagai ilustrasi, FIFA tidak akan mendapatkan untung apapun jika jumlah pemain sepak bola amatir bertambah. Namun, jika jumlah pemain Rainbow Six: Siege naik, maka hal ini bisa memberikan dampak langsung pada pemasukan Ubisoft.

Hal lain yang membedakan antara esports dan olahraga adalah game esports punya risiko menjadi dead game. Umur rata-rata penonton sepak bola terus naik. Namun, tidak ada berita yang menyebutkan bahwa “sepak bola akan mati!” Lain halnya dengan game esports. Bahkan game yang skena esports-nya sudah tumbuh besar sekalipun, seperti Dota 2, pernah diduga akan menjadi dead game. Ekosistem Dota 2 di Indonesia pun sudah kering kerontang. Dua perbedaan antara esports dan olahraga ini membuat penyelenggaraan kompetisi esports menjadi agak berbeda dari pertandingan olahraga tradisional, misalnya dalam hal frekuensi dan durasi kompetisi.

Dalam setahun, kompetisi esports biasanya diadakan dua kali; spring split dan fall split atau summer split dan winter split. Sementara kompetisi olahraga tradisional, seperti sepak bola, biasanya hanya diadakan satu tahun sekali. Selain itu, durasi kompetisi esports juga jauh lebih pendek. Free Fire Master League Season III berlangsung selama 5 minggu, sejak 16 Januari 2021 sampai 20-21 Februari 2021. Sementara regular season dari Mobile Legends Professional League berlangsung selama 8 minggu sebelum memasuki babak playoff, yang biasanya berlangsung selama 3 hari. Sebagai perbandingan, Liga Inggris dimulai pada bulan Agustus dan berakhir pada bulan Mei di tahun berikutnya. Hal itu berarti, Liga Inggris berlangsung selama sekitar 10 bulan.

Free Fire Master League Season 3 hanya berlangsung selama 5 minggu.
Free Fire Master League Season 3 hanya berlangsung selama 5 minggu.

Pendeknya durasi liga esports punya pengaruh pada durasi kontrak antara pemain dan tim esports. Menurut shoutcaster Wibi “8ken” Irbawanto, rata-rata, kontrak antara pemain dan tim esports hanya berlangsung selama 3-12 bulan. Memang, ada beberapa pemain yang bisa mendapatkan kontrak hingga 2 tahun. Namun, jika kontrak punya durasi lebih dari 2 tahun, hal itu sudah dianggap sebagai “taruhan besar” oleh sebuah organisasi esports. Sementara itu, rata-rata durasi kontrak pemain sepak bola adalah 3-5 tahun.

Umur karir yang singkat dan frekuensi penyelenggaraan turnamen yang tinggi; 2 hal ini tampaknya merupakan faktor mengapa para pemain esports tidak segan untuk pindah dari satu tim ke tim lain dalam waktu singkat. Dan hal itu sah saja. Pindah ke perusahaan lain memang merupakan salah satu cara untuk bisa menaikkan gaji seseorang. Jadi, wajar saja jika seorang pemain memutuskan untuk pindah ke tim lain demi mendapatkan gaji yang lebih besar atau benefit yang lebih baik.

Selain itu, organisasi esports juga tidak segan untuk mengeluarkan seorang pemain atau membubarkan tim jika performa sang pemain atau tim itu dianggap tidak memuaskan. Dalam hal ini, organisasi esports juga tidak bisa disalahkan. Pasalnya, sponsorship masih menjadi kontributor terbesar dalam pemasukan organisasi esports. Dan mendapatkan fans sebanyak-banyaknya merupakan salah satu cara untuk menarik sponsor. Untuk bisa memenangkan hati fans, sebuah organisasi esports juga harus bisa unjuk gigi.

Regenerasi pemain memang penting. Namun, jika organisasi esports terus mengganti roster pemainnya, hal ini juga akan menyebabkan masalah tersendiri. Misalnya, para pemain harus kembali menyesuaikan diri dengan ritme dan gaya bermain sang pemain baru. Sementara jika sebuah organisasi esports merekrut tim yang sama sekali baru, maka mereka harus melatih para pemain dari nol. Bagi para pemain profesional, berganti tim juga punya risiko sendiri. Tak bisa dipungkiri, chemistry antar pemain juga berpengaruh pada performa sebuah tim. Dalam sepak bola pun, bukan hal yang aneh melihat seorang striker mendadak tak bisa mencetak gol karena berganti tim.

 

Ekosistem Esports yang Sehat, Tanggung Jawab Siapa?

Publisher menjadi salah satu pihak yang paling bertanggung jawab dalam memastikan ekosistem esports dari game-nya tidak hanya berkembang, tapi juga tumbuh dengan sehat. Alasannya, publisher memegang wewenang paling besar atas sebuah game dan ekosistem esports dari game itu. Misalnya, Activision Blizzard bisa menentukan gaji minimum untuk para pemain yang berlaga di Overwatch League. Sementara itu, Riot Games bisa memutuskan soal penggunaan sistem franchise pada liga League of Legends. Dengan kata lain, publisher hampir punya kuasa penuh dalam menentukan bagaimana cara mereka menyelenggarakan kompetisi esports.

Activision Blizzard menentukan gaji minimum pemain Overwatch League.
Activision Blizzard menentukan gaji minimum pemain Overwatch League.

Mengingat singkatnya durasi liga esports menjadi salah satu faktor mengapa roster tim esports cepat berubah, salah satu hal yang bisa publisher lakukan untuk mengatasi masalah ini adalah dengan memperpanjang durasi liga esports. Dengan begitu, baik tim maupun atlet esports bisa punya waktu yang lebih panjang untuk membuat rencana. Meskipun begitu, hal ini bisa jadi memunculkan masalah baru, seperti penurunan penonton, yang pasti bakal berdampak ke pemasukan. Pasalnya, target penonton kompetisi esports adalah generasi milenial dan gen Z, yang sering disebut punya attention span singkat. Jadi, mengadakan liga esports yang lebih panjang justru bisa membuat para penonton menjadi bosan.

Sebagai bagian dari industri esports, pemain dan organisasi esports tentunya juga punya peran sendiri dalam memastikan ekosistem esports tumbuh dengan sehat. Salah satu kewajiban organisasi esports adalah memberikan kompensasi — gaji dan benefit — yang memadai untuk para pemainnya. Memang, organisasi esports bukanlah badan amal yang harus menyiapkan segala sesuatu untuk menjamin masa depan para atletnya bahkan setelah pensiun. Meskipun begitu, jika mereka tetap ingin memberikan literasi finansial tanpa mengeluarkan dana ekstra, mereka bisa menjalin kerja sama dengan institusi keuangan.

Saat ini, semakin banyak merek non-endemik yang tertarik untuk masuk ke dunia esports, tak terkecuali bank dan asuransi. Jika organisasi esports tetap ingin memberikan asuransi tapi terkendala masalah biaya, mereka bisa menggandeng institusi keuangan sebagai rekan. Hal ini telah dilakukan oleh T1. Pada Juli 2020, mereka bekerja sama dengan Hana Bank. Melalui kerja sama ini, para pemain T1 mendapatkan asuransi dan layanan finansial dari Hana Bank. Sebagai gantinya, T1 akan mempromosikan aplikasi dari Hana Bank dan membantu bank itu untuk mengembangkan produk finansial untuk fans esports.

Kerja sama antara T1 dan Hana Bank.
Kerja sama antara T1 dan Hana Bank.

Tak hanya edukasi, organisasi esports juga bisa membantu para pemainnya yang telah pensiun dengan cara lain. Contohnya, dengan menawarkan pekerjaan lain pasca pensiun dari pro playerCEO RRQ, Andrian Pauline alias AP pernah mengungkap bahwa pemain RRQ yang sudah pensiun bisa melamar pekerjaan di perusahaan-perusahaan anak MidPlaza Holding, yang merupakan induk dari RRQ. EVOS Esports juga sudah melakukan hal yang sama. Pada akhir Februari 2021, EVOS menunjuk Stefan Chong sebagai Business Development Lead untuk kawasan Singapura. Di Korea Selatan, kesetiaan Lee “Faker” Sang-hyeok pada T1 berbuah manis. Pada Februari 2020, T1 tidak hanya memperpanjang kontrak dengan pemain League of Legends itu. Faker bahkan mendapatkan sebagian saham dari organisasi esports tersebut.

Jika dibandingkan dengan publisher dan organisasi esports, pemain profesional memang terlihat sebagai pihak dengan bargaining power paling kecil. Namun, hal itu bukan berarti para atlet esports harsu pasrah begitu saja menerima keadaan. Salah satu hal yang pemain profesional bisa lakukan sebagai ancang-ancang sebelum pensiun adalah mempelajari kemampuan baru. Jadi, begitu karirnya selesai, dia tidak kebingungan untuk mencari pekerjaan baru. Selain itu, seorang pemain esports juga bisa banting setir ke bisnis. Karena itulah, literasi finansial penting bagi para pemain profesional.

Satu hal yang pasti, bagaimana kehidupan pemain profesional setelah karirnya selesai akan tergantung pada dirinya sendiri. Memang, organisasi esports bisa membantu dengan memberikan edukasi literasi keuangan atau menawarkan posisi manajemen. Walaupun begitu, pada akhirnya, sang pemainlah yang mengambil keputusan tentang rencananya di masa depan.

 

Penutup

Pada akhirnya, kontrak kerja punya konsep yang sama dengan kontrak jual-beli. Akad jual-beli hanya akan terjadi jika penjual dan pembeli setuju bahwa harga yang dibayar pembeli sesuai dengan nilai dari barang atau layanan yang dijual. Begitu juga dengan kontrak kerja. Seorang pekerja bersedia untuk memberikan tenaga dan waktunya demi perusahaan asal dia mendapatkan kompensasi yang cukup. Saya rasa, konsep ini juga berlaku di dunia esports. Hanya saja, umur para pemain esports memang jauh lebih muda dari karyawan perusahaan. Jadi, pengalaman mereka terkait dunia kerja mungkin masih minim.

Idealnya, organisasi esports tidak hanya menjaga kesehatan pemainnya, tapi juga mengajari pemainnya tentang bagaimana bersikap profesional. Lebih baik lagi jika mereka membantu para atletnya untuk mempersiapkan masa depan mereka. Walaupun begitu, pada akhirnya, tanggung jawab akan masa depan seorang pemain profesional ada di tangan sang atlet esports sendiri.

Previous Story

Guide Midlaner Wild Rift yang Handal dari Pro Player

Next Story

Pendapatan Game dari Gacha akan Mencapai Rp287 Triliun di 2025

Latest from Blog

Don't Miss

Review Poco X6 5G Hybrid

Review Poco X6 5G, Performa Ekstrem dan Sudah Dapat Pembaruan HyperOS

Poco X6 membawa layar AMOLED 120Hz dengan Dolby Vision lalu

Review Realme 12 Pro+ 5G, Smartphone Mainstream dengan Zoom Periscope Paling Terjangkau

Realme 12 Pro+ 5G merupakan smartphone paling baru dari realme di