Dark
Light

Korelasi antara Konten Digital dengan Penjualan Merchandise bagi Organisasi Esports

10 mins read
April 25, 2021
antara media sosial dan merchandise tim esports

Uang hadiah turnamen mungkin akan cukup apabila tim esports hanya ingin berkompetisi. Tetapi bagi tim esports yang merupakan sebuah unit bisnis, uang hadiah sulit diandalkan dan cenderung sedikit jumlahnya. Karenanya, komersialisasi dari konten digital dan merchandising memiliki potensi untuk mendatangkan pendapatan yang lebih berkesinambungan.

Dalam artikel ini kita akan membahas relasi konten digital dengan merchandising sebagai sarana komersialisasi tim esports. Untuk melihat fenomena tersebut lebih dekat, kami juga mencoba menggali beberapa insight dari Shawn Liem selaku CEO dari ONIC Esports. Setelahnya, kami juga akan hitung-hitungan seberapa besar sebenarnya konversi fans tim esports yang akhirnya membeli merchandise.

Namun sebelum menuju ke pembahasan utama, mari simak pengantar kenapa konten digital dan merchandise jadi penting bagi komersialisasi tim esports.

 

Peran Konten bagi Perkembangan Bisnis Olahraga

Sebelum menuju ke pembahasan utamanya, saya akan menyajikan sedikit pengantar untuk menjelaskan kenapa relasi konten dengan merchandising menjadi pembahasan saya untuk kali ini. Konten video milik Athletic Interest kembali menjadi inspirasi saya. Dalam salah satu video, Athletic interest membahas peran film dokumenter bagi perkembangan bisnis klub sepak bola.

Melalui video tersebut dijelaskan bahwa pada umumnya, klub sepak bola memiliki 3 sumber pemasukan: Broadcast income, match day revenue, dan commercial income. Broadcast income merupakan pemasukan yang didapat dari mengikuti liga. Match day revenue merupakan pemasukan dari penjualan tiket pertandingan. Terakhir, commercial income datang dari sumber-sumber lainnya seperti penjualan merchandise, sponsorship, ataupun berbagai kegiatan komersil lainnya yang dilakukan tim sepak bola.

Namun dari perspektif bisnis, ada masalah tersendiri dari tiga sumber pemasukan tersebut. Dua dari tiga sumber pemasukan tim sepak bola tidak bisa berkembang. Pemasukan dari penjualan tiket misalnya, jumlahnya terbatas kepada ukuran stadion. Lalu dari sisi broadcast income, pemasukannya bergantung kepada negosiasi operator liga (misalnya pelaksana English Premier League) dengan pemilik saluran televisi.

Maka dari itu, tim sepak bola akan sulit berkembang secara bisnis apabila hanya mengandalkan dua sumber pemasukan tersebut saja. Namun satu pemasukan lainnya membuka peluang yang jauh lebih besar, yaitu commercial income. Kesempatan commercial income yang terbuka dan dapat selalu berkembang membuat tim sepak bola mulai melebarkan sayap menjadi “media company“.

Tim sepak bola menyajikan berbagai macam konten melalui media digital (termasuk film dokumenter), dengan harapan mendapat peluang pemasukan yang lebih besar seperti membuka peluang kedatangan investor, sponsor, atau meningkatkan penjualan merchandise.

Terlepas dari itu, kehadiran konten medial sosial sendiri saja memang tidak selalu berhasil mendongkrak peluang pemasukan dari sumber komersil lainnya. Barcelona sebagai contohnya. Mengutip laporan dari blog resmi Barcelona yang diterbitkan Januari 2021 dikatakan bahwa klub tempat Lionel Messi bernaung tersebut memimpin di hampir segala lini media sosial tahun 2020 lalu.

antara media sosial dan merchandise tim esports
Sumber Gambar – Barcelona Blog

Mereka mencatatkan 1,6 milyar interaksi dari keseluruhan media sosial (Instagram, Facebook, Twitter, TikTok), 200 juta lebih banyak ketimbang Liverpool di peringkat kedua dengan 1,4 milyar interaksi. YouTube Barcelona mencatatkan 230 juta total views. Instagram Barcelona mencatatkan 1,2 milyar interaksi, Twitter 108 juta interaksi, TikTok 45 juta interaksi, dan Facebook 168 juta interaksi. Barcelona memimpin di segala lini media sosial, kecuali Facebook.

Lalu dengan segala kejayaan di media sosial, bagaimana kondisi Barcelona dari segi bisnis? Mengutip tulisan Insider.com yang mengutip dari laporan keuangan milik Barcelona, dikatakan bahwa tim tersebut justru merugi US$117 juta. Namun kerugian tersebut sebenarnya wajar, karena dampak pandemi covid-19 membuat liga sepak bola terhenti. Dijelaskan lebih lanjut bahwa Barcelona mungkin akan mendapat profit sekitar US$2 juta apabila pandemi tidak terjadi.

Barcelona juga menunjukkan pemasukan yang kurang memuaskan dari sisi merchandising. Namun di dalam laporan kembali ditekankan bahwa penurunan tersebut terjadi mengingat kondisi pandemi COVID-19 yang membuat penonton jadi tidak bisa menonton secara langsung sehingga membuat penjualan merchandise jadi menurun.

antara media sosial dan merchandise tim esports
Penjualan merchandise tergolong dalam kategori sales yang kini jumlahnya lebih besar dari sumber pemasukan lain. Sumber Gambar – Barcelona Official

Relasi tersebut mungkin tidak bisa terasa secara langsung apabila kita melihatnya dari perspektif industri olahraga. Apalagi seperti juga yang dijelaskan oleh Barcelona, industri sepak bola bisa dibilang hampir lumpuh karena kondisi pandemi yang membuat pertandingan jadi tidak mungkin dilaksanakan.

Sementara industri olahraga sedang lumpuh, esports di sisi lain justru sedang melejit. Lalu bagaimana relasi antara konten media sosial dengan penjualan merchandise dari sisi esports? Mari kita melaju ke pembahasan berikutnya.

 

Komersialisasi Esports Lewat Konten Digital dan Merchandise

Kondisi pandemi sangat berdampak kepada perkembangan industri olahraga seperti sepak bola. Walaupun masih bisa disiasati melalui konten media sosial, tapi satu yang pasti adalah tim sepak bola kehilangan konten utamanya yaitu keseruan di lapangan sepak bola.

Mengutip dari data perbandingan media sosial tim olahraga dengan esports di tahun 2020 lalu milik Socialbakers, perkembangan konten media sosial tim olahraga pun jadi menurun seperti yang diprediksi. Pada sisi lain, konten media sosial milik tim esports cenderung stabil dengan beberapa peningkatan. Beberapa data lebih jelasnya bisa Anda lihat dari cuplikan pemaparan milik Socialbakers berikut ini.

antara media sosial dan merchandise tim esports
Sumber gambar – Socialbakers
antara media sosial dan merchandise tim esports
Sumber gambar – Socialbakers

Lalu bagaimana relasi antara pengikut media sosial dengan penjualan merchandise bagi tim esports? FaZe Clan mungkin bisa kita jadikan sebagai contoh dari esports luar negeri. FaZe Clan sendiri merupakan organisasi esports yang terkenal tidak hanya di ranah kompetitif saja. FaZe Clan mencoba menyajikan formula baru bagi tim esports dengan menyatukan beberapa elemen seperti gaming, esports, dan gaya hidup glamor ala selebriti lewat konten yang mereka sajikan.

Berkat strategi tersebut, FaZe Clan pun mencuat sebagai salah satu organisasi esports dengan jumlah pengikut media sosial terbanyak. Mengutip dari Shareablee, tercatat bahwa FaZe Clan sudah memiliki total followers mencapai 16 juta lebih, dengan menghitung followers dari Facebook, Twitter, dan Instagram.

Tak hanya memiliki banyak followers, tingkat engagement media sosial FaZe Clan juga tergolong tinggi. Menurut data Shareablee bulan Maret 2021 lalu, FaZe Clan mencatatkan 6,5 juta Actions (termasuk reaction, comment, share, retweet, dan like) dari keseluruhan media sosialnya. Angka tersebut menempatkan FaZe Clan di peringkat ke-2. Sementara di peringkat pertama ada Bigetron Esports yang mencatatkan 7,2 juta lebih Actions. Melihat dari datanya, angka tersebut sepertinya merupakan akumulasi bulanan. Pada puncaknya, FaZe Clan sempat mencatatkan 11,5 juta lebih Actions, tepatnya pada bulan Oktober 2020 lalu.

Followers mereka sendiri didapatkan dari berbagai sumber. Dari segi esports, mereka punya tim-tim yang berprestasi. Atlanta FaZe misalnya, tim Call of Duty League yang bisa digolongkan sebagai top 4 terkuat di skenanya. Terakhir kali Atlanta FaZe berhasil keluar sebagai runner-up Call of Duty League tahun 2020. Tim CS:GO milik FaZe Clan juga tergolong cukup kuat. Divisi CS:GO FaZe Clan sempat memenangkan beberapa gelaran BLAST Pro Series di tahun 2019 walau performanya cenderung menurun belakangan ini. Ditambah lagi, FaZe Clan juga punya bejibun streamers dan influencers yang punya nama yang besar di komunitas gamers.

Bagaimana pengaruh kombinasi antara konten media sosial yang aktif dan prestasi dari divisi-divisi esports FaZe Clan terhadap penjualan merchandise? Pada akhir tahun 2020 lalu, Lee Trink CEO FaZe Clan sempat mengungkap pendapatan FaZe Clan dari sisi merchandising. Lee Trink mengatakan bahwa mereka bisa mendapat pemasukan sebanyak US$2 juta dalam 24 jam atau sekitar US$500 ribu dalam 5 menit dari merchandise.

Apabila Anda adalah pembaca setia Hybrid.co.id, Anda mungkin tahu bagaimana FaZe Clan memang merupakan salah satu organisasi yang getol di bidang merchandising. Salah satu alasannya juga adalah karena FaZe Clan yang memosisikan dirinya sebagai sebuah brand gaya hidup berkaitan dengan gaming.

Karenanya, FaZe terlihat getol berkolaborasi dengan berbagai brand fashion ataupun membuat merchandise miliknya bergaya streetwear yang fashionable agar dapat menarik minat masyarakat umum. Komitmen mereka untuk menuju ke tujuan tersebut juga terlihat salah satunya dengan peluncuran toko apparel yang mereka lakukan seraya mengutarakan keinginannya untuk menjadi layaknya Supreme di dunia fashion.

Tetapi apa yang dilakukan FaZe Clan juga sebenarnya terbilang tidak neko-neko dan malah tergolong masuk akal dari sisi bisnis. Layaknya tim sepak bola, tim esports sebenarnya juga cukup sulit mengumpulkan atau mengembangkan pemasukannya apabila hanya bersandar kepada kompetisi saja.

Hal tersebut sudah sempat saya bahas dalam artikel pembahasan antara prestasi dengan konten bagi tim esports. Walaupun keduanya bersifat simbiosis mutualisme bagi tim esports (prestasi dan konten), namun hal yang tak bisa dipungkiri sebenarnya adalah pemasukan dari menjadi juara yang tidak cukup untuk mengembangkan tim esports sebagai bisnis. Artikel saya tersebut juga sempat membahas perkiraan pemasukan yang didapat tim esports apabila ada divisinya yang memenangkan turnamen, dibandingkan dengan pemasukan dari sisi komersil seperti adsense konten media sosial, sponsorship, ataupun mungkin penjualan merchandise.

Setelah melihat FaZe Clan yang sukses “menjual” gaming sebagai gaya hidup lewat konten media sosial dan merchandising di luar negeri sana, sekarang kita akan beralih ke sub-pembahasan berikutnya. Kira-kira, bagaimana dengan kondisi relasi followers media sosial dengan penjualan merchandise bagi tim esports lokal?

 

Melihat Dari Perspektif Esports Lokal

Apabila bicara soal konten media sosial dan merchandise di ranah esports lokal, saya melihat setidaknya ada tiga tim yang mungkin bisa dimasukkan sebagai contoh kasus. Ketiga tim tersebut adalah EVOS Esports, ONIC Esports, dan Bigetron Esports. Ketiga tim tersebut saya jadikan contoh karena ketiganya sama-sama terlihat getol menciptakan merchandise tim esports yang lebih fashionable.

EVOS Esports mungkin jadi salah satu pionir dan terlihat paling getol mengembangkan branding merchandise mereka ke arah lifestyle. Mereka terlihat gencar melakukan kolaborasi bersama beberapa seniman fashion lokal dalam pembuatan lini merchandise miliknya. Mereka juga membuka EVOS Store pada tahun 2019 lalu sebagai bentuk komitmen tersebut.

EVOS x Thanksinsomnia - Photo 2
Hoodie hasil kolaborasi EVOS Esports dengan Thankinsomnia.

ONIC Esport pun seperti demikian. Mereka terlihat melakukan beberapa kolaborasi dengan brand-brand fashion dan lifestye untuk mengembangkan lini merchandise-nya. Beberapa di antaranya seperti kolaborasi ONIC Esports dengan KITC ataupun kolaborasinya dengan salah satu brand footwear lokal ternama yaitu Brodo.

antara media sosial dan merchandise tim esports
Sepatu hasil kolaborasi ONIC Esports dengan Brodo. Sumber Gambar – ONIC Esports Official.

Bigetron Esports mungkin belum terlihat melakukan kolaborasi-kolaborasi dengan brand fashion. Walupun demikian, lini merchandise milik si robot merah tetap mengikuti tren dengan penampilan ala streetwear. Salah satu contohnya bisa dilihat dari jaket Red Aliens Bomber Jacket 2021 yang ditampilkan dengan rancangan grafis ala cyberpunk yang memang sedang trending. Selain itu, Bigetron Red Aliens juga tercatat sebagai tim esports dengan performa media sosial tertinggi menurut Shareablee, bahkan mengalahkan FaZe Clan.

antara media sosial dan merchandise tim esports
Walau bukan hasil kolaborasi, tapi rancangan Bigetron Red Aliens Bomber Jacket ini tetap ingin menonjolkan kesan fashionable. Sumber Gambar – Bigetron Official.

Setelah melihat bagaimana ketiga tim tersebut memperlakukan lini merchandise miliknya, mari kita melihat jumlah followers media sosial yang dimiliki oleh masing-masing tim. Saya menjadikan Instagram sebagai sampel media sosial dari ketiga tim tersebut karena Instagram adalah media sosial dengan jumlah followers terbesar dari ketiga tim tersebut. EVOS Esports memiliki 5,7 juta followers pada akun official-nya. ONIC Esports memiliki 1,1 juta folllowers, sementara Bigetron Esports memiliki 1,3 juta followers.

Lalu untuk melihat penjualan merchandise dari ketiga tim tersebut, saya menggunakan data official shop mereka di Tokopedia dan Shopee. EVOS Esports sudah mencatatkan sekitar 16 ribu produk terjual di official shop Tokopedia dan sekitar 750 produk terjual di official shop Shopee. ONIC Esports mencatatkan sekitar 1600 produk terjual di official shop Tokopedia dan sekitar 220 produk terjual di official shop Shopee. Terakhir Bigetron Esports sudah mencatatkan sekitar 4800 produk terjual di official shop Tokopedia dan sekitar 360 produk terjual di official shop Shopee.

Setelah ditilik, ternyata memang perbandingan angka jumlah followers media sosial sangat timpang dengan jumlah orang yang membeli merchandise dari tim esports. Untuk mengihitung kisaran angka konversi, saya membagi jumlah pembeli merchandise dengan jumlah followers lalu dikali 100 untuk menghitung persentase. Setelah dihitung, maka saya mendapatkan angka konversi kurang lebih sebesar ini: EVOS Esports mencatatkan angka konversi sebesar 0,29%, ONIC Esports sebesar 0,14%, dan Bigetron Esports sebesar 0,42%.

Angka konversi yang saya dapatkan tersebut tentunya adalah angka yang sangat kasar. Hal tersebut mengingat pembelian merchandise tak terbatas pada official shop saja dan tidak terbatas pada pembelian online saja. Di luar dari official shop, beberapa merchandise tim esports kadang dijual di marketplace online lain. Kolaborasi antara ONIC Esports dengan sepatu Brodo misalnya, yang dijual secara online hanya di official website milik Brodo, tidak di official shop ONIC Esports.

Karena saya menghitung angka total penjualan secara online, maka penjualan offline seperti di EVOS Store atau pada saat gelaran M1 2019 tentu jadi tidak terhitung. Belum lagi kalau misalnya kita juga menghitung penjualan di toko pihak ketiga (yang mungkin dipertanyakan orisinalitas barang jualannya) yang banyak sekali jumlahnya.

Terlepas dari itu, angka konversi yang kecil tersebut sebenarnya tidak selalu berarti buruk. Malah apabila Anda oportunis, angka tersebut adalah bukti masih besarnya peluang komersialisasi merchandise bagi tim esports. Shawn Liem selaku CEO dari ONIC Esports juga sempat memberi pandangannya seputar bisnis merchandising bagi tim esports.

Dirinya mengakui bahwa merchandise adalah salah satu revenue stream bagi ONIC, walau jumlahnya ketinggalan dibanding yang lain. “Kontribusi terbesar untuk saat ini masih dari sponsorship dan talent management.” Ucap Shawn menjelaskan. Namun, seperti yang saya bilang, angka konversi yang kecil tersebut sebenarnya bisa jadi peluang untuk dikembangkan. Karenanya tim seperti ONIC Esports pun berpikir serupa seperti apa yang saya pikirkan.

Sumber Gambar – YouTube Channel BRODO

“Lewat kemitraan dengan JUARA pada tahun ini, ONIC Esports ingin fokus mengembangkan merchandise sebagai salah satu pilar bisnis utama. Kami memandang merchandise sebagai identitas tim yang dapat mencerminkan branding dari tim itu sendiri. Oleh sebab itu, ONIC Esports sangat memmerhatikan produk merchandise yang kami keluarkan agar menjadi kebanggan untuk para SONIC (sebutan fans ONIC Esports) dan penggemar esports.” Tutur Shawn Liem menjelaskan pandangannya.

Dalam hal konversi dari followers menjadi pembeli merchandise, Shawn Liem mengatakan bahwa memang beberapa pembelinya justru bukan followers tim ONIC Esports. “Walaupun begitu, sejauh ini terlihat bahwa antusiasme fans terhadap produk baru yang kami keluarkan terbilang cukup tinggi. Hal tersebut bisa jadi disebabkan karena desain merchandise yang inovatif serta kolaborasi dengan brand lokal terkemuka.”

Selain dari itu, satu hal yang saya juga penasaran adalah pendataan dari tim esports. Bagaimanapun, fans adalah bahan bakar bagi tim esports. Pertanyaannya, apakah tim esports seperti ONIC mendata dan mengukur tingkat fanatisme fans mereka? Secara umum, saya menangkap dari jawaban Shawn Liem bahwa ONIC Esports mungkin memang belum sampai segitunya mendata para penggemarnya.

Namun demikian Shawn Liem menjelaskan. “Kami mencoba memberikan insentif dalam pembelian merchandise dengan menghadirkan sistem loyalty point. Untuk saat ini fokus kami adalah untuk terus meningkatkan kualitas produk dan meningkatkan value dari brand sehingga target market kami dapat meluas dari SONIC, ke fashion entushiast, sampai ke masyarakat di luar dunia esports.” Tuturnya sambil sedikit menjelaskan ONIC Esports di bidang merchandising.

Setelah banyak bicara soal merchandising, Shawn Liem juga sedikit membagikan pandangannya soal poosisi konten digital bagi sebuah tim esports. Shawn Liem pun menjelaskan bahwa memang konten digital kini sudah tidak terpisahkan bagi tim esports. Perannya juga bukan hanya sebagai suplemen saja, tetapi melainkan sebagai platform pemasaran utama baginya.

antara media sosial dan merchandise tim esports
Dokumentasi: ONIC Esports

“Konten digital bukan lagi pelengkap saja, melainkan platform pemasaran utama untuk mendukung pilar-pilar bisnis sebuah tim esports. Secara operasional, tim esports seperti ONIC dapat dikategorikan sebagai perusahaan yang bergerak di bidang media, entertainment, dan creative industry yang secara umum didorong oleh viewership konten dan media engagement. Tapi di luar itu, tentunya kami sebagai perusahaan juga harus terus berkembang dan bisa melihat peluang apa saja yang bisa dapat kami maksimalkan.” Tutur Shawn Liem.

Terakhir dalam hal integrasi antara konten dengan penjualan merchandise, Shawn Liem mengaku bahwa fokus yang ingin ia lakukan bersama ONIC Esports saat ini adalah branding. “Fokus kami saat ini adalah melakukan branding bahwa merchandise ONIC Esports bukan sekadar merchandise, melainkan sebuah brand fesyen Indonesia. Inisiatif kolaborasi dengan brand lokal adalah inifiatif awal kami yang tujuannya untuk memperluas pengaruh dan relevansi ONIC Esports di dunia fesyen, sembari meningkatkan kapabilitas internal kami dari segi rancangan dan kualitas. Harapan masa depannya adalah, merchandise ONIC Esports dapat berkembang menjadi brand fesyen yang ternama dengan kualitas produk yang kompetitif.”

Sementara prestasi tim-tim esports terus melejit, komersialisasi lewat konten digital dan merchandise memang menjanjikan peluang yang lebih besar ketimbang sekadar mengejar hadiah uang turnamen saja. Melalui artikel ini kita semua juga dapat melihat bahwa memang penjualan merchandise tim esports tergolong masih punya ruang yang cukup besar untuk berkembang di masa depan. Semoga pembahasan kali ini dapat memberi perspektif baru bagi Anda ataupun menjadi inspirasi untuk mengembangkan bisnis di bidang esports.

Previous Story

Map Baru Valorant akan Membawa Anda ke Pantai Tropis, Breeze

Next Story

Naraka: Bladepoint adalah Battle Royale dengan Melee Gameplay dan Setting Fantasi

Latest from Blog

Don't Miss

Review Poco X6 5G Hybrid

Review Poco X6 5G, Performa Ekstrem dan Sudah Dapat Pembaruan HyperOS

Poco X6 membawa layar AMOLED 120Hz dengan Dolby Vision lalu

Review Realme 12 Pro+ 5G, Smartphone Mainstream dengan Zoom Periscope Paling Terjangkau

Realme 12 Pro+ 5G merupakan smartphone paling baru dari realme di